Penyesalan Kekuatanku telah hilang - Cerdas Buatan

Tuesday, April 23, 2019

Penyesalan Kekuatanku telah hilang



Penyesalan Kekuatanku telah Hilang

Suatu hari Abu Ishaq as- Sabi’i menangis. Lalu ia ditanya, “Mengapa Anda Menangis ?” Ia menjawab, “Kekuatanku telah hilang”. Shalat telah luput dariku. Aku tak sanggup lagi shalat sambil berdiri lama kecuali hanya dengan membaca surat al-Baqarah dan Ali Imran saja. “ (Ibn Hibban, Ats-Tsiqat, 8/76).

Masya Allah! Sungguh mengangumkan keadaan salafush-shalih. Mereka menyesali sesuatu yang mereka anggap kecil. Padahal itu adalah sesuatu yang sangat berat untuk kita lakukan saat ini.
Sengaja kisah di atas saya kutip sebagai pengantar untuk membincangkan sekaligus menafakuri satu hal : penyesalan.

Penyesalan adalah hal yang lumrah. Pernah dialami oleh siapapun. Yang berbeda tentu perkara yang disesalkan. Juga mengapa kita menyesal? Ada orang menyesal menjadi orang miskin karena dulunya merasa banyak peluang untuk mejadi kaya. Ada yang menyesal berpendidikan rendah, karena dulunya banyak kesempatan untuk meraih pendidikan tinggi. Ada yang menyesal punya suami/istri yang kurang ganteng/cantik atau kurang kaya. Ada yang menyesal karena harus kehilangan jabatan dan karir. Ada yang menyesal karena harus kehilangan harta. Ada yang menyesal karena bisnisnya merugi dan bangkrut. Ada yang menyesal karena ditinggal mari orang yang paling ia cintai, sementara ia mersa belum banyak memberi. Bahkan ada yang terus menyesali diri sepanjang hidupnya karena selalu merasa tidak beruntung. Merasa selalu sial. Demikian seterusnya.

Umumnya, orang menyesal karena perkara – perkara dunia yang luput dari dirinya. Sangat jarang orang menyesal karena hilangnya atau kurangnya agama dari dirinya. Sedikit orang, misalnya, yang menyesal karena terlambat shalay berjamaah di masjid: terlalu kecil bersedekah; tetalu sedikit membaca al – Quran dari membaca WA, twitter, instagram, facebook, dll; terlalu banyak waktu dihabiskan untuk hal-hal tak berguna; terlalu sedikit menyisihkan waktu untuk belajar agama (tafaqquh fi ad-din) ; dll.

Bandingkan dengan penyesalan Abu Ishaq as-Sabi’i di atas, yang karena sudah tua, tak sanggup berdiri lama dalan shalat. Ia menyesal hanya bisa berdiri lama dalam shalat. Ia menyesal hanya berdiri dalam shalat sekedar cukup untuk membaca-setelah al-Fatihah- al – Baqarah dan Ali Imran. Saat yang sama, kita membaca surat asy-Syam atau al-A’la dalam shalat saja sudah merasa terlalu panjang.

Bandingkan pula dengan penyesalan Imam al-Ghazal. Ia konon pernah ketinggalan shalat malam. Pada saat yang sama kita jangankan shalat subuh pun masih bias tertawa. Sama sekali tak ada pennyesalan.


Yang lebih parah, banyak orang sedikitpun tak menyesal saat ia telah melakukan banyak dosa, bahkan dosa besar- seperti zina, riba, suka berbohong. Sering menebar janji paslu, zalim terhadap rakyat, dsb. Ia melakukan semua itu tanpa beban. Tanpa merasa berdosa bahkan mungkin dengan ketenangan yang luar biasa.

Padahal penyesalan, meski acapkali terlambat, tetaplah berguna. Masih lumayan menyesal di dunia. Masih mungkin untuk menebus rasa sesal. Tentu dengan ikhtiar yang kesalahan yang sama, yang menjadi sebab penyesalan terjadi.

Yang repot adalah saat penyesalan benar-benar datang terlambat. Bukan di dunia, tetapi di akhirat. Saat ajal mulai mendekat. Tak lama jasad membujur kaku di liang lahat. Saat itu tak ada gunanya lagi rasa sesal. Tak ada lagi kesempatan untuk bertobat. Yang ada hanyalah kesiapan menghadapi segala akibat. Pahala atau dosa. Nikmat surga atau azab neraka.

Karena itu Rasulullah saw. Mengingatkan bahwa “Tidak ada orang yang mati melainkan seseorang mati melainkan ia akan menyesal.” Orang-orang bertanya “Ya Rasulullah, apa penyesalan mengapa tidak lebih bayak lagi(kebaikannya). Jika ia orang jahat. Ia menyesal mengapa tidak segera meninggalkan (kejahatan). ” (HR at-Tirmidzi).

Karena itu pula, bersegeralah mengerjakan amal shalih dan ketaan kepada Allah SWT. Di muka bumi. Itulah amalan orang-orang cerdik yang menyakini adanya kehidupan setelah umur di dunia ini berakhir. Mereka SWT dengan menjadikan takwa sebagai bekal Untuk mendapatkannya. Saat demikian mereka akan terhindar dari penyesalan di akhirat.

Tentu berbeda halnya dengan orang-orang fasik atau kafir. Di dunia mereka mungkin tak pernah merasa banyak kesenagan. Hidup Bahagia. Kemudahan. Harta berlimpah. Posisi dan jabatan terpandang: presiden, menteri, anggota dewan, kepala daerah, pimpinan partai, pejabat teras, dsb. Namun, semua itu pasti tak ada artinya. Bahkan bisa menjadi sesalan di akhirat. Saat di dunia membangkang kepada Allah SWT, banyak bermaksiat kepada-Nya, mencampakkan syariah-Nya, berbuat zalim  kepada rakyat, dsb. Saat itulah kebenaran firman Allah SWT benar-benar nyata: Sungguh Kami telah memperingatkan kalian siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah di perbuat oleh kedua tangannya, dan orang kafir berkata. “Alangkah baiknya sekiranya aku dulu hanyalah tanah. ” (QS an-Naba’ [78]:40).

Puncaknya, saat mereka sudah menyampaikan semua jenis khayalan dan penyesalan, tapi tidak berdampak apa pun. Mereka lalu berandai-andai untuk mengorbankan anak, istri dan keluarganya. Tentu demi satu hal ini : terhindar dari azab-Nya. Allah SWT melukiskan hal ini : Orang kafir ingin sekali sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari azab hari itu dengan anak-anaknya. Istrinya, saudaranya dan keluarga yang melindungi dirinya (di dunia), bahkan orang-orang di atas bumi seluruhnya, kemudian berharap tebusan itu dapat menyelamatkan dirinya (QS al – Ma’arif[70]: 11 - 14).

Allah SWT pun berfirman: Pada hari itu diperlihatkan Neraka Jahanam. Pada hari sadarlah manusia, tetapi kesadarannya itu tidaklah berguna lagi bagi dirinya. Manusia berkata. “Alangkah bainya seandainya dulu aku melakukan kebajikan untuk hidupku.” (QS al-Fajr [89]: 23-24).

Pada saat itulah, sebagaimana sabda Nabi saw. Di atas, manusia benar-benar akan menyesal. Pelaku kebaikan akan menyesal mengapa di dunia ia tidak lebih banyak lagi, melakukan kebaikan. Pelaku kejahatan apalagi, dia akan amat menyesal, mengapa saat di dunia ia tidak berhenti melakukan kejahatan sejak awal.

Alhasil, selayaknya kita bertobat sebelum terlambat. Taat sebelumnya ajal mendekat. Segera meninggalkan maksiat agar tak menyesal di akhirat.
Wa ma tawfiqi illa billah. [Arief B. Iskandar]
Sumber : al-wa’ie | Sya’ban, hlm 52-53

Comments


EmoticonEmoticon