Suatu
hari Abu Ishaq as- Sabi’i menangis. Lalu ia ditanya, “Mengapa Anda Menangis ?”
Ia menjawab, “Kekuatanku telah hilang”. Shalat telah luput dariku. Aku tak
sanggup lagi shalat sambil berdiri lama kecuali hanya dengan membaca surat
al-Baqarah dan Ali Imran saja. “ (Ibn Hibban, Ats-Tsiqat, 8/76).
Masya
Allah! Sungguh mengangumkan keadaan salafush-shalih. Mereka menyesali sesuatu
yang mereka anggap kecil. Padahal itu adalah sesuatu yang sangat berat untuk
kita lakukan saat ini.
Sengaja
kisah di atas saya kutip sebagai pengantar untuk membincangkan sekaligus
menafakuri satu hal : penyesalan.
Penyesalan
adalah hal yang lumrah. Pernah dialami oleh siapapun. Yang berbeda tentu
perkara yang disesalkan. Juga mengapa kita menyesal? Ada orang menyesal menjadi
orang miskin karena dulunya merasa banyak peluang untuk mejadi kaya. Ada yang
menyesal berpendidikan rendah, karena dulunya banyak kesempatan untuk meraih
pendidikan tinggi. Ada yang menyesal punya suami/istri yang kurang
ganteng/cantik atau kurang kaya. Ada yang menyesal karena harus kehilangan
jabatan dan karir. Ada yang menyesal karena harus kehilangan harta. Ada yang
menyesal karena bisnisnya merugi dan bangkrut. Ada yang menyesal karena
ditinggal mari orang yang paling ia cintai, sementara ia mersa belum banyak
memberi. Bahkan ada yang terus menyesali diri sepanjang hidupnya karena selalu
merasa tidak beruntung. Merasa selalu sial. Demikian seterusnya.
Umumnya,
orang menyesal karena perkara – perkara dunia yang luput dari dirinya. Sangat jarang
orang menyesal karena hilangnya atau kurangnya agama dari dirinya. Sedikit orang,
misalnya, yang menyesal karena terlambat shalay berjamaah di masjid: terlalu
kecil bersedekah; tetalu sedikit membaca al – Quran dari membaca WA, twitter,
instagram, facebook, dll; terlalu banyak waktu dihabiskan untuk hal-hal tak
berguna; terlalu sedikit menyisihkan waktu untuk belajar agama (tafaqquh fi
ad-din) ; dll.
Bandingkan
dengan penyesalan Abu Ishaq as-Sabi’i di atas, yang karena sudah tua, tak
sanggup berdiri lama dalan shalat. Ia menyesal hanya bisa berdiri lama dalam
shalat. Ia menyesal hanya berdiri dalam shalat sekedar cukup untuk
membaca-setelah al-Fatihah- al – Baqarah dan Ali Imran. Saat yang sama, kita
membaca surat asy-Syam atau al-A’la dalam shalat saja sudah merasa terlalu
panjang.
Bandingkan
pula dengan penyesalan Imam al-Ghazal. Ia konon pernah ketinggalan shalat malam.
Pada saat yang sama kita jangankan shalat subuh pun masih bias tertawa. Sama
sekali tak ada pennyesalan.
Baca Juga : Ideologi Tidak Akan Pernah Mati!
Yang
lebih parah, banyak orang sedikitpun tak menyesal saat ia telah melakukan
banyak dosa, bahkan dosa besar- seperti zina, riba, suka berbohong. Sering menebar
janji paslu, zalim terhadap rakyat, dsb. Ia melakukan semua itu tanpa beban. Tanpa
merasa berdosa bahkan mungkin dengan ketenangan yang luar biasa.
Padahal
penyesalan, meski acapkali terlambat, tetaplah berguna. Masih lumayan menyesal
di dunia. Masih mungkin untuk menebus rasa sesal. Tentu dengan ikhtiar yang
kesalahan yang sama, yang menjadi sebab penyesalan terjadi.
Yang
repot adalah saat penyesalan benar-benar datang terlambat. Bukan di dunia,
tetapi di akhirat. Saat ajal mulai mendekat. Tak lama jasad membujur kaku di
liang lahat. Saat itu tak ada gunanya lagi rasa sesal. Tak ada lagi kesempatan
untuk bertobat. Yang ada hanyalah kesiapan menghadapi segala akibat. Pahala atau
dosa. Nikmat surga atau azab neraka.
Karena
itu Rasulullah saw. Mengingatkan bahwa “Tidak ada orang yang mati melainkan
seseorang mati melainkan ia akan menyesal.” Orang-orang bertanya “Ya Rasulullah,
apa penyesalan mengapa tidak lebih bayak lagi(kebaikannya). Jika ia orang jahat. Ia menyesal mengapa tidak
segera meninggalkan (kejahatan). ” (HR at-Tirmidzi).
Karena
itu pula, bersegeralah mengerjakan amal shalih dan ketaan kepada Allah SWT. Di muka
bumi. Itulah amalan orang-orang cerdik yang menyakini adanya kehidupan setelah
umur di dunia ini berakhir. Mereka SWT dengan menjadikan takwa sebagai bekal
Untuk mendapatkannya. Saat demikian mereka akan terhindar dari penyesalan di
akhirat.
Tentu
berbeda halnya dengan orang-orang fasik atau kafir. Di dunia mereka mungkin tak
pernah merasa banyak kesenagan. Hidup Bahagia. Kemudahan. Harta berlimpah. Posisi
dan jabatan terpandang: presiden, menteri, anggota dewan, kepala daerah,
pimpinan partai, pejabat teras, dsb. Namun, semua itu pasti tak ada artinya. Bahkan
bisa menjadi sesalan di akhirat. Saat di dunia membangkang kepada Allah SWT,
banyak bermaksiat kepada-Nya, mencampakkan syariah-Nya, berbuat zalim kepada rakyat, dsb. Saat itulah kebenaran
firman Allah SWT benar-benar nyata: Sungguh Kami telah memperingatkan kalian
siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah di perbuat oleh
kedua tangannya, dan orang kafir berkata. “Alangkah baiknya sekiranya aku dulu
hanyalah tanah. ” (QS an-Naba’ [78]:40).
Puncaknya,
saat mereka sudah menyampaikan semua jenis khayalan dan penyesalan, tapi tidak
berdampak apa pun. Mereka lalu berandai-andai untuk mengorbankan anak, istri
dan keluarganya. Tentu demi satu hal ini : terhindar dari azab-Nya. Allah SWT
melukiskan hal ini : Orang kafir ingin sekali sekiranya dia dapat menebus (dirinya)
dari azab hari itu dengan anak-anaknya. Istrinya, saudaranya dan keluarga yang
melindungi dirinya (di dunia), bahkan orang-orang di atas bumi seluruhnya,
kemudian berharap tebusan itu dapat menyelamatkan dirinya (QS al – Ma’arif[70]:
11 - 14).
Allah
SWT pun berfirman: Pada hari itu diperlihatkan Neraka Jahanam. Pada hari
sadarlah manusia, tetapi kesadarannya itu tidaklah berguna lagi bagi dirinya.
Manusia berkata. “Alangkah bainya seandainya dulu aku melakukan kebajikan untuk
hidupku.” (QS al-Fajr [89]: 23-24).
Pada
saat itulah, sebagaimana sabda Nabi saw. Di atas, manusia benar-benar akan
menyesal. Pelaku kebaikan akan menyesal mengapa di dunia ia tidak lebih banyak
lagi, melakukan kebaikan. Pelaku kejahatan apalagi, dia akan amat menyesal,
mengapa saat di dunia ia tidak berhenti melakukan kejahatan sejak awal.
Alhasil,
selayaknya kita bertobat sebelum terlambat. Taat sebelumnya ajal mendekat.
Segera meninggalkan maksiat agar tak menyesal di akhirat.
Wa ma tawfiqi illa
billah. [Arief B. Iskandar]
Sumber
: al-wa’ie | Sya’ban, hlm 52-53